Merek merupakan gambar, nama, kata, huruf-huruf,
angka-angka, susunan warna atau kombinasi unsur-unsur tersebut yang memiliki
daya pembedaan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa. Hak merek dapat beralih atau berpindah
tangan karena pewaris, wasiat, hibah,
pinjaman, atau sebagainya yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
Setiap pengalihan hak atas merek wajib
dimohonkan pencatatan di Direktorat Jendral Merek untuk dicatat dalam daftar
umum merek. Pernyaataan tersebut merupakan Pasal 1 butir 1 UU No 15 Tahun 2001
Tentang Merek.
Menurut UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang
setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih
tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan
industri.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1984
TENTANG
PERINDUSTRIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
1. Bahwa
tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan
makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila, serta
bahwa hakikat Pembangunan Nasional adalah Pembangunan Manusia Indonesia
seutuhnya, maka landasan pelaksanaan Pembangunan Nasional adalah Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945;
2. Bahwa
arah pembangunan jangka panjang di bidang ekonomi dalam pembangunan nasional
adalah tercapainya struktur ekonomi yang seimbang yang di dalamnya
terdapat kemampuan dan kekuatan industri yang maju yang didukung oleh
kekuatan dan kemampuan pertanian yang tangguh, serta merupakan pangkal
tolak bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas
kekuatannyasendiri;
3. Bahwa
untuk mencapai sasaran pembangunan di bidang ekonomi dalam pembangunan nasional,
industri memegang peranan yang menentukan dan oleh karenanya perlu lebih
dikembangkan secara seimbang dan terpadu dengan meningkatkan peran serta
masyarakat secara aktif serta mendayagunakan secaraoptimal seluruh sumber daya
alam, manusia, dan dana yang tersedia;
4. Bahwa
berdasarkan hal-hal tersebut di atas dan untuk memberikan dasar yang kokoh bagi
pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri secara mantap dan
berkesinambungan serta belum adanya perangkat hukum yang secara menyeluruh
mampu melandasinya, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Perindustrian.
Mengingat:
1. Pasal
5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945;
2. Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1960 tentang Statistik (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 109, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2048);
3. Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian (Lembaran Negara Tahunn1967
Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2832);
4. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918);
5. Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun
1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
6. Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
7. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara
Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran
Negara.
Konvensi merupakan suatu bentuk kebiasaan dan terpelihara
dalam praktik serta tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang
berlaku. Dalam konteks hukum internasional, sebuah konvensi dapat berupa
perjanjian internasional tertulis yang tunduk pada ketentuan hukum kebiasaan
internasional, yurisprudensi, atau prinsip hukum umum. Sebuah konvensi
internasional dapat diberlakukan di Indonesia setelah terlebih dahulu melalui
proses ratifikasi yang dilakukan oleh DPR. Konvensi-konvensi internasional yang
terkait dengan hak cipta, antara lain Konvensi Berner dan Universal Copyright Convention (UCC).
Konvensi Berner yang mengatur tentang perlindungan karya
tulis dan artistik ditandatangani di Bern pada tanggal 9 Septemver 1986 dan
telah beberapa kali mengalami revisi serta penyempurnaan. Revisi pertama
dilakukan di Paris pada tanggal 4 Mei 1896, revisi berikutnya di Berlin pada
tanggal 13 November 1908. Kemudian disempurnakan lagi di Bern pada tanggal 24
Maret 1914. Selanjutnya, secara bebturut-turut direvisi di Roma tanggal 2 juni
1928 dan di Brussels pada tanggal 26 Juni 1948, di Stockholm pada tanggal 14
Juni 1967 dan yang paling baru di Paris pada tanggal 24 Juni 1971. Anggota
konvensi ini berjumlah 45 Negara. Rumusan hak cipta menurut Konvensi Berner adalah
sama seperti apa yang dirumuskan oleh Auteurswet 1912. Objek perlindungan hak
cipta dalam konvensi ini, antara lain karya-karya sastra dan seni yang meliputi
segala hasil bidang sastra, ilmiah dan kesenian dalam cara atau bentuk
pengutaraan apapun. Suatu hal yang terpenting dalam Konvensi Berner adalah
mengenai perlindungan hak cipta yang diberikan terhadap para pencipta atau
pemegang hak. Perlindungan diberikan pencipta dengan tidak menghiraukan apakah
ada atau tidaknya perlindungan yang diberikan. Perlindungan yang diberikan
adalah bahwa pencipta yang tergabung dalam negara-negara yang terikat dalam
konvensi ini memperoleh hak dalam luas dan bekerjanya disamakan dengan apa yang
diberikan oleh pembuat undang-undang dari negara peserta sendiri jika digunakan
secara langsung perundang-undanganya terhadap warga negaranya sendiri.
Pengecualian diberikan kepada negara berkembang. Reserve ini hanya
berlaku terhadap negara-negara yang melakukan ratifikasi dari protokol yang
bersangkutan. Negara yang hendak melakukan pengecualian yang semacam ini dapat
melakukannya demi kepentingan ekonomi, sosial, atau kultural.
Universal Copyright
Convention lahir pada tanggal 6 September 1952 untuk memenuhi
kepatuhan adanya suatu Common
Dinaminator Convention yang ditandatangani di Jenewa kemudian
ditindaklanjuti dengan 12 ratifikasi yang diperlukan untuk berlakunya pada 16
September 1955. Konvensi ini mengenai karya dari orang-orang yang tanpa
kewarganegaraan dan orang-orang pelarian. Ini dapat dimengerti bahwa secara
internasional hak cipta terhadap orang-orang yang tidak mempunyai
kewarganegaraan atau orang-orang pelarian, perlu dilindungi sehingga salah satu
dari tujuan perlindungan hak cipta tercapai. Dalam hal ini, kepentingan
negara-negara berkembang di perhatikan dengan memberikan batasan-batasan
tertentu terhadap hak pencipta asli untuk menterjemahkan dan diupayakan untuk
kepentingan pendidikan, penelitian dan ilmu pengetahuan. Universal Copyright Convention mencoba
untuk mempertemukan antara falsafah Eropa dan Amerika yang memandang hak
monopoli yang diberikan kepada si pencipta diupayakan pula untuk memperhatikan
kepentingan umum. Universal
Copyright Convention mengganggap hak cipta ditimbulkan oleh karena
adanya ketentuan yang memberikan hak seperti itu kepada pencipta sehingga ruang
lingkup dan pengertian hak mengenai hak cipta itu dapat ditentukan oleh
peraturan yang melahirkan hak tersebut.
Sumber :
Sumber :
http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-413-bab3.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/5395/1/057011022.pdf
http://eprints.undip.ac.id/17444/8/Chapter_II.pdf
http://pelayanan.jakarta.go.id/download/regulasi/undang-undang-nomor-5-tahun-1984-tentang-perindustrian.pdf