Selasa, 28 Maret 2017

Kepastian Hukum Industri Migas di Indonesia

Kepastian Hukum Insdustri Migas di Indonesia

              Kepastian hukum menjadi persoalan serius di industri minyak dan gas bumi (migas) nasional. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas sudah tidak lagi komprehensif dan tidak bisa menjamin kepastian hukum bagi kegiatan migas di Tanah Air. Sejumlah pasal dalam undang-undang tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

       MK sudah tiga kali memutuskan pembatalan pasal-pasal dalam UU tersebut. Namun, keputusan MK yang terakhir pada 13 November 2012 sangat menohok industri hulu migas. Lewat keputusannya itu, MK membatalkan 18 ketentuan dalam bentuk pasal, ayat, dan frasa terkait kedudukan, fungsi, dan tugas Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi --atau disingkat BP Migas-- karena bertentangan dengan konstitusi. Keputusan MK itu sekaligus membawa konsekuensi pembubaran BP Migas.

       Kemudian, sebagai tindak lanjut pengalihan pelaksanaan tugas, fungsi dan organisasi BP Migas, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Januari 2013 mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang pembentukan Satuan Kerja Khusus Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Dengan Perpres tersebut, kedudukan BP Migas digantikan oleh SKK Migas yang menjadi bagian dari pemerintah.

   Dibentuknya SKK Migas tidak serta merta menyelesaikan persoalan kepastian hukum industri migas nasional. Meski kepala SKK Migas bertanggung jawab kepada presiden, banyak pihak menilai status SKK Migas masih ngambang. SKK Migas bukan lembaga yang berdiri sendiri, juga bukan lembaga di bawah Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), kendati semua kegiatannya diawasi oleh Komisi Pengawas yang diketuai menteri ESDMZ.

      Indonesia tidak lagi diperhitungkan sebagai salah satu kekuatan minyak dunia. Republik ini sudah menjadi negara pengimpor minyak (net oil importer) sejak 2004. Cadangan minyak Indonesia saat ini tinggal 3,7 miliar barel, atau hanya 0,2% dari jumlah cadangan minyak di dunia. Cadangan sebesar itu menempatkan Indonesia di peringkat ke-28 sebagai negara pemilik minyak paling banyak di dunia. Dengan produksi minyak saat ini rata-rata sekitar 806.000 barel per hari (bph), cadangan minyak Indonesia akan habis dalam jangka waktu 10-11 tahun lagi jika tidak ditemukan cadangan baru.

     Kondisi serupa terjadi pada gas bumi. Memang saat ini Indonesia masih menjadi eksportir gas bumi dengan cadangan sebesar 103,3 triliun kaki kubik (tcf) atau 1,6% cadangan dunia. Jika tidak ada penemuan cadangan baru untuk menggantikan yang dikonsumsi, cadangan sebanyak itu akan habis lebih cepat dari perkiraan. Indonesia akan mengalami krisis gas pada 2020 jika dari sekarang ini tidak ditemukan lagi cadangan baru.

      Seiring kebutuhan yang terus melonjak peningkatan investasi di sektor migas menjadi mutlak, terutama untuk menggenjot produksi yang terus menurun dan menambah cadangan baru. Namun, investasi akan masuk jika tercipta iklim investasi yang kondusif dan adanya kepastian hukum. Untuk menciptakan kepastian hukum, revisi UU Migas menjadi keharusan setelah sejumlah pasalnya dibatalkan oleh MK. Kerangka hukum yang dibentuk untuk industri hulu migas harus memenuhi persyaratan konstitusional yang telah ditetapkan dalam putusan MK sehingga dapat memperkecil risiko gugatan di kemudian hari.

       Industri migas nasional tidak hanya dihadapkan pada persoalan status kelembagaan SKK Migas dan revisi UU Migas yang menjadi payung hukum kegiatan migas. Sesungguhnya masih banyak persoalan yang mesti segera diatasi untuk mengejar target lifting minyak sebesar 818.000 barel per hari (bph) dan lifting gas 1.224.000 barel setara minya per hari dalam APBN-Perubahan 2014. Sedangkan APBN 2015 yang disahkan DPR kemarin mematok lifting minyak 900.000 bph dan gas 1.248.000 bph. Di antara persoalan tersebut adalah ketidakpastian pasca-berakhirnya masa kontrak migas yang juga dipersoalkan kalangan pelaku industri migas. Ketidakpastian ini bisa mengakibatkan kerugian negara dalam bentuk penurunan produksi. Sebagai gambaran, dalam lima tahun ke depan, sebanyak 20 kontrak kerja sama (KKS) yang akan berakhir masa kontraknya dengan produksi setara 30% dari produksi minyak nasional.

     Kalangan pelaku industri migas juga mempersoalkan keberadaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79/2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau dikenal dengan PP tentang cost recovery. PP tersebut dinilai bertentangan dengan beberapa peraturan perundang- undangan lebih tinggi seperti UU Migas dan UU Nomor 17/2000 tentang Pajak Penghasilan (PPh) dan berpotensi dapat diterapkan secara retroaktif serta mengubah prinsip kontraktor KKS yang ada secara sepihak, sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi investor.

     Tidak hanya itu, pelaku industri migas juga mengeluhkan investasi yang dikembalikan negara atau cost recovery yang masih dimasukkan dalam APBN. Cost recovery semestinya dikeluarkan dari APBN. Alasannya, KKS adalah pengaturan kontraktual antara pemerintah dan perusahaan swasta atau investor. Investasi tersebut tidak didanai oleh APBN dan karena itu tidak dapat menciptakan ‘kerugian negara’ di bawah UU Anti Korupsi. 

        Pemberlakuan pajak bumi dan bangunan (PBB) untuk kegiatan eksplorasi setelah terbitnya PP No 79/2010 juga dinilai menciptakan iklim investasi yang kurang kondusif di sektor hulu migas. Sebelum pemberlakuan PP 79/2010, PBB di wilayah kerja KKS eksplorasi ditanggung oleh pemerintah sesuai prinsip assume and discharge. Namun bagi KKS yang ditandatangani pasca-pembelakuan PP 79/2010, KKS tidak lagi mengaplikasi prinsip yang sama dan karena itu kontraktor KKS harus menanggung PBB dan hanya dapat memperoleh kembali sebagai biaya operasi setelah produksi. Pembebasan lahan dan proses perizinan juga masih menjadi kendala utama dalam operasi eksplorasi dan produksi migas.

               Kegiatan migas adalah investasi jangka panjang. Karena itu, kepastian hukum di industri migas adalah sebuah keniscayaan. Tanpa adanya kepastian hukum, investasi hulu migas di Indonesia bakal dijauhi para pemodal. Akibat selanjutnya, produksi minyak dan gas bumi bakal terus merosot dan negara akan kehilangan potensi pendapatan dari sektor migas yang tahun ini memberi kontribusi sebesar Rp 280 triliun dalam APBN. Kini, soal kepastian hukum industri migas menjadi tugas pemerintahan baru
di bawah Joko Widodo-Jusuf Kalla.


Sumber : http://id.beritasatu.com/home/kepastian-hukum-industri-migas/95907

Tidak ada komentar:

Posting Komentar