Kepastian Hukum Insdustri Migas di Indonesia
Kepastian
hukum menjadi persoalan serius di industri minyak dan gas bumi (migas)
nasional. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas sudah tidak lagi
komprehensif dan tidak bisa menjamin kepastian hukum bagi kegiatan migas di
Tanah Air. Sejumlah pasal dalam undang-undang tersebut telah dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi (MK).
MK sudah tiga kali
memutuskan pembatalan pasal-pasal dalam UU tersebut. Namun, keputusan MK yang
terakhir pada 13 November 2012 sangat menohok industri hulu migas. Lewat
keputusannya itu, MK membatalkan 18 ketentuan dalam bentuk pasal, ayat, dan
frasa terkait kedudukan, fungsi, dan tugas Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi --atau disingkat BP Migas-- karena bertentangan dengan
konstitusi. Keputusan MK itu sekaligus membawa konsekuensi pembubaran BP Migas.
Kemudian, sebagai tindak
lanjut pengalihan pelaksanaan tugas, fungsi dan organisasi BP Migas, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Januari 2013 mengeluarkan Peraturan Presiden
Nomor 9 Tahun 2013 tentang pembentukan Satuan Kerja Khusus Usaha Hulu Minyak
dan Gas Bumi (SKK Migas). Dengan Perpres tersebut, kedudukan BP Migas
digantikan oleh SKK Migas yang menjadi bagian dari pemerintah.
Dibentuknya SKK Migas
tidak serta merta menyelesaikan persoalan kepastian hukum industri migas
nasional. Meski kepala SKK Migas bertanggung jawab kepada presiden, banyak
pihak menilai status SKK Migas masih ngambang. SKK Migas bukan lembaga yang
berdiri sendiri, juga bukan lembaga di bawah Kementerian Energi Sumber Daya
Mineral (ESDM), kendati semua kegiatannya diawasi oleh Komisi Pengawas yang
diketuai menteri ESDMZ.
Indonesia tidak lagi
diperhitungkan sebagai salah satu kekuatan minyak dunia. Republik ini sudah
menjadi negara pengimpor minyak (net oil importer) sejak 2004. Cadangan minyak
Indonesia saat ini tinggal 3,7 miliar barel, atau hanya 0,2% dari jumlah
cadangan minyak di dunia. Cadangan sebesar itu menempatkan Indonesia di
peringkat ke-28 sebagai negara pemilik minyak paling banyak di dunia. Dengan
produksi minyak saat ini rata-rata sekitar 806.000 barel per hari (bph),
cadangan minyak Indonesia akan habis dalam jangka waktu 10-11 tahun lagi jika
tidak ditemukan cadangan baru.
Kondisi serupa terjadi
pada gas bumi. Memang saat ini Indonesia masih menjadi eksportir gas bumi
dengan cadangan sebesar 103,3 triliun kaki kubik (tcf) atau 1,6% cadangan
dunia. Jika tidak ada penemuan cadangan baru untuk menggantikan yang
dikonsumsi, cadangan sebanyak itu akan habis lebih cepat dari perkiraan.
Indonesia akan mengalami krisis gas pada 2020 jika dari sekarang ini tidak
ditemukan lagi cadangan baru.
Seiring kebutuhan yang
terus melonjak peningkatan investasi di sektor migas menjadi mutlak, terutama
untuk menggenjot produksi yang terus menurun dan menambah cadangan baru. Namun,
investasi akan masuk jika tercipta iklim investasi yang kondusif dan adanya
kepastian hukum. Untuk menciptakan kepastian hukum, revisi UU Migas menjadi
keharusan setelah sejumlah pasalnya dibatalkan oleh MK. Kerangka hukum yang
dibentuk untuk industri hulu migas harus memenuhi persyaratan konstitusional
yang telah ditetapkan dalam putusan MK sehingga dapat memperkecil risiko
gugatan di kemudian hari.
Industri migas nasional
tidak hanya dihadapkan pada persoalan status kelembagaan SKK Migas dan revisi
UU Migas yang menjadi payung hukum kegiatan migas. Sesungguhnya masih banyak
persoalan yang mesti segera diatasi untuk mengejar target lifting minyak
sebesar 818.000 barel per hari (bph) dan lifting gas 1.224.000 barel setara
minya per hari dalam APBN-Perubahan 2014. Sedangkan APBN 2015 yang disahkan DPR
kemarin mematok lifting minyak 900.000 bph dan gas 1.248.000 bph. Di antara
persoalan tersebut adalah ketidakpastian pasca-berakhirnya masa kontrak migas
yang juga dipersoalkan kalangan pelaku industri migas. Ketidakpastian ini bisa
mengakibatkan kerugian negara dalam bentuk penurunan produksi. Sebagai
gambaran, dalam lima tahun ke depan, sebanyak 20 kontrak kerja sama (KKS) yang
akan berakhir masa kontraknya dengan produksi setara 30% dari produksi minyak
nasional.
Kalangan pelaku industri
migas juga mempersoalkan keberadaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79/2010
tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan
di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau dikenal dengan PP tentang cost
recovery. PP tersebut dinilai bertentangan dengan beberapa peraturan perundang-
undangan lebih tinggi seperti UU Migas dan UU Nomor 17/2000 tentang Pajak
Penghasilan (PPh) dan berpotensi dapat diterapkan secara retroaktif serta
mengubah prinsip kontraktor KKS yang ada secara sepihak, sehingga menimbulkan
ketidakpastian bagi investor.
Tidak hanya itu, pelaku
industri migas juga mengeluhkan investasi yang dikembalikan negara atau cost
recovery yang masih dimasukkan dalam APBN. Cost recovery semestinya dikeluarkan
dari APBN. Alasannya, KKS adalah pengaturan kontraktual antara pemerintah dan
perusahaan swasta atau investor. Investasi tersebut tidak didanai oleh APBN dan
karena itu tidak dapat menciptakan ‘kerugian negara’ di bawah UU Anti Korupsi.
Pemberlakuan pajak bumi
dan bangunan (PBB) untuk kegiatan eksplorasi setelah terbitnya PP No 79/2010
juga dinilai menciptakan iklim investasi yang kurang kondusif di sektor hulu
migas. Sebelum pemberlakuan PP 79/2010, PBB di wilayah kerja KKS eksplorasi
ditanggung oleh pemerintah sesuai prinsip assume and discharge. Namun bagi KKS
yang ditandatangani pasca-pembelakuan PP 79/2010, KKS tidak lagi mengaplikasi
prinsip yang sama dan karena itu kontraktor KKS harus menanggung PBB dan hanya
dapat memperoleh kembali sebagai biaya operasi setelah produksi. Pembebasan
lahan dan proses perizinan juga masih menjadi kendala utama dalam operasi
eksplorasi dan produksi migas.
Kegiatan migas adalah
investasi jangka panjang. Karena itu, kepastian hukum di industri migas adalah
sebuah keniscayaan. Tanpa adanya kepastian hukum, investasi hulu migas di
Indonesia bakal dijauhi para pemodal. Akibat selanjutnya, produksi minyak dan gas
bumi bakal terus merosot dan negara akan kehilangan potensi pendapatan dari
sektor migas yang tahun ini memberi kontribusi sebesar Rp 280 triliun dalam
APBN. Kini, soal kepastian hukum industri migas menjadi tugas pemerintahan baru
di bawah Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Sumber : http://id.beritasatu.com/home/kepastian-hukum-industri-migas/95907
Tidak ada komentar:
Posting Komentar