Rabu, 24 Mei 2017

Hak Merk dan Konvensi Internasional Hak Cipta

           Merek merupakan gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembedaan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa.  Hak merek dapat beralih atau berpindah tangan  karena pewaris, wasiat, hibah, pinjaman, atau sebagainya yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Setiap pengalihan hak atas merek  wajib dimohonkan pencatatan di Direktorat Jendral Merek untuk dicatat dalam daftar umum merek. Pernyaataan tersebut merupakan Pasal 1 butir 1 UU No 15 Tahun 2001 Tentang Merek.
            Menurut UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1984
TENTANG
PERINDUSTRIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang:
1.      Bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila, serta bahwa hakikat Pembangunan Nasional adalah Pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya, maka landasan pelaksanaan Pembangunan Nasional adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
2.      Bahwa arah pembangunan jangka panjang di bidang ekonomi dalam pembangunan nasional adalah tercapainya struktur ekonomi yang seimbang yang di dalamnya terdapat kemampuan dan kekuatan industri yang maju yang didukung oleh kekuatan dan kemampuan pertanian yang tangguh, serta merupakan pangkal tolak bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatannyasendiri;
3.      Bahwa untuk mencapai sasaran pembangunan di bidang ekonomi dalam pembangunan nasional, industri memegang peranan yang menentukan dan oleh karenanya perlu lebih dikembangkan secara seimbang dan terpadu dengan meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif serta mendayagunakan secaraoptimal seluruh sumber daya alam, manusia, dan dana yang tersedia;
4.      Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas dan untuk memberikan dasar yang kokoh bagi pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri secara mantap dan berkesinambungan serta belum adanya perangkat hukum yang secara menyeluruh mampu melandasinya, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Perindustrian.

Mengingat:
1.      Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
2.    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1960 tentang Statistik (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2048);
3.      Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian (Lembaran Negara Tahunn1967 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2832);
4.      Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918);
5.      Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
6.    Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
7.   Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara.
            Konvensi merupakan suatu bentuk kebiasaan dan terpelihara dalam praktik serta tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam konteks hukum internasional, sebuah konvensi dapat berupa perjanjian internasional tertulis yang tunduk pada ketentuan hukum kebiasaan internasional, yurisprudensi, atau prinsip hukum umum. Sebuah konvensi internasional dapat diberlakukan di Indonesia setelah terlebih dahulu melalui proses ratifikasi yang dilakukan oleh DPR. Konvensi-konvensi internasional yang terkait dengan hak cipta, antara  lain Konvensi Berner dan Universal Copyright Convention (UCC).
            Konvensi Berner yang mengatur tentang perlindungan karya tulis dan artistik ditandatangani di Bern pada tanggal 9 Septemver 1986 dan telah beberapa kali mengalami revisi serta penyempurnaan. Revisi pertama dilakukan di Paris pada tanggal 4 Mei 1896, revisi berikutnya di Berlin pada tanggal 13 November 1908. Kemudian disempurnakan lagi di Bern pada tanggal 24 Maret 1914. Selanjutnya, secara bebturut-turut direvisi di Roma tanggal 2 juni 1928 dan di Brussels pada tanggal 26 Juni 1948, di Stockholm pada tanggal 14 Juni 1967 dan yang paling baru di Paris pada tanggal 24 Juni 1971. Anggota konvensi ini berjumlah 45 Negara. Rumusan hak cipta menurut Konvensi Berner adalah sama seperti apa yang dirumuskan oleh Auteurswet 1912. Objek perlindungan hak cipta dalam konvensi ini, antara lain karya-karya sastra dan seni yang meliputi segala hasil bidang sastra, ilmiah dan kesenian dalam cara atau bentuk pengutaraan apapun. Suatu hal yang terpenting dalam Konvensi Berner adalah mengenai perlindungan hak cipta yang diberikan terhadap para pencipta atau pemegang hak. Perlindungan diberikan pencipta dengan tidak menghiraukan apakah ada atau tidaknya perlindungan yang diberikan. Perlindungan yang diberikan adalah bahwa pencipta yang tergabung dalam negara-negara yang terikat dalam konvensi ini memperoleh hak dalam luas dan bekerjanya disamakan dengan apa yang diberikan oleh pembuat undang-undang dari negara peserta sendiri jika digunakan secara langsung perundang-undanganya terhadap warga negaranya sendiri. Pengecualian diberikan kepada negara berkembang. Reserve ini hanya berlaku terhadap negara-negara yang melakukan ratifikasi dari protokol yang bersangkutan. Negara yang hendak melakukan pengecualian yang semacam ini dapat melakukannya demi kepentingan ekonomi, sosial, atau kultural.
            Universal Copyright Convention lahir pada tanggal 6 September 1952 untuk memenuhi kepatuhan adanya suatu Common Dinaminator Convention yang ditandatangani di Jenewa kemudian ditindaklanjuti dengan 12 ratifikasi yang diperlukan untuk berlakunya pada 16 September 1955. Konvensi ini mengenai karya dari orang-orang yang tanpa kewarganegaraan dan orang-orang pelarian. Ini dapat dimengerti bahwa secara internasional hak cipta terhadap orang-orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan atau orang-orang pelarian, perlu dilindungi sehingga salah satu dari tujuan perlindungan hak cipta tercapai. Dalam hal ini, kepentingan negara-negara berkembang di perhatikan dengan memberikan batasan-batasan tertentu terhadap hak pencipta asli untuk menterjemahkan dan diupayakan untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan ilmu pengetahuan. Universal Copyright Convention mencoba untuk mempertemukan antara falsafah Eropa dan Amerika yang memandang hak monopoli yang diberikan kepada si pencipta diupayakan pula untuk memperhatikan kepentingan umum. Universal Copyright Convention mengganggap hak cipta ditimbulkan oleh karena adanya ketentuan yang memberikan hak seperti itu kepada pencipta sehingga ruang lingkup dan pengertian hak mengenai hak cipta itu dapat ditentukan oleh peraturan yang melahirkan hak tersebut.

Sumber :
http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-413-bab3.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/5395/1/057011022.pdf
http://eprints.undip.ac.id/17444/8/Chapter_II.pdf
http://pelayanan.jakarta.go.id/download/regulasi/undang-undang-nomor-5-tahun-1984-tentang-perindustrian.pdf